Tugas
kelompok 9
SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN TASAWUF
(Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf)
DOSEN PEMBIMBING : Drs. MUKTI SY, M.
Ag
DISUSUN OLEH
NAMA NPM
REZA
USWANTO 1411030260
SITI
NUR HIDAYAH 1411030265
Fak/Jur/Smt/Kls : Tarbiyah/MPI/2/E
![]() |
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN
INTAN LAMPUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
TA 2015/1435 H
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarokatuh
Puji
syukur atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas rahmat, hidayah dan
ridho-Nya, penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf abad 1-7 Hijriah.
Tak lupa juga kami berterima kasih
kepada :
1)
Bapak
Mukti SY, M. Ag., selaku dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2)
Kepada
kedua orang tua kami yang selalu mendoakan dan mendukung kami.
3)
Dan
kepada rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah
ini .
Muatan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Penyusun mengharapkan pula kiranya makalah ini dapat
bermanfaat, khususnya di jurusan Manajemen
Pendidikan Islam.
Terimakasih
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Bandar
Lampung, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan
Makalah......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.
Sejarah
Kemunculan Tasawuf................................................................... 3
B.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf abad 1-7 Hijriah.....................................
BAB III PENUTUP............................................................................................
Kesimpulan............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran sebagai sumber nilai dan
norma ajaran Islam, dalam kaitannya dengan keberadaan dan hakikat kehidupan
manusia, mengisyaratkan bahwa jiwa manusia pada dasarnya mempunyai potensi kefasikan
dan kejahatan (fujur), dan potensi kebajikan (taqwa) yang dalam kehidupan
sehari-hari kedua potensi ini saling tarik-menarik, pengaruh-mempengaruhi. (QS.
Al-Syams [91] : 7-10)
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy™ ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ô‰s% yxn=øùr& `tB $yg8©.y— ÇÒÈ ô‰s%ur z>%s{ `tB $yg9¢™yŠ ÇÊÉÈ
“Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Di sinilah terlihat hakikat nilai
perjuangan manusia di dunia. Apabila motivasi hidup dan kehidupannya didorong
dan didominasi oleh potensi fujur-nya, maka kehidupan manusia terjerumus
ke dalam jurang kehidupan yang kotor (perilaku syaithaniyah).
Sebaliknya, apabila motivasi hidupnya didominasi, dikendalikan, dan diarahkan
oleh potensi taqwa-nya, dia akan sampai pada kehidupan yang suci,
derajat kehidupan malikiyah, yaitu kehidupan spiritual para kaum sufi yang
ascetic (tasawuf).
Tasawuf merupakan peluang batin yang
penuh keasyikan dan syarat dengan pesan-pesan spiritual yang dapat menentramkan
batin manusia. Sebagai suatu sistem penghayatan keagamaan yang bersifat
esoteric. Tasawuf sudah berkembang menjadi wacana kajian akademik yang
senantiasa actual secara konstektual dalam setiap kajian pemikiran Islam.
Apalagi di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada
dekadensi moral, yang imbasnya mulai terasa dalam kehidupan secara langsung, masalah
tasawuf mulai mendapat perhatian dan dituntut peranna secara aktif mengatasi
masalah tersebut. Oleh karena itu, tasawuf secara universal menepati posisi
substansi dalam kehidupan manusia.
Dalam ruang lingkup pemahaman, para
ilmwan masih dilingkari oleh perbedaan pendapat dalam menjelaskan asal-usul
tasawuf. Kontroversi pemahaman ini beranjak dari bagaimana korelasi antara
tasawuf sebagai suatu istilah yang sudah dikenal dan baku. Di samping itu,
petualangan batin para sufi secara individu menambah semakin lebatnya perbedaan
untuk memformulasikan tasawuf dalam satu definisi yang baku.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
asal-usul kemunculan tasawuf dalam Islam?
2.
Bagaimana
perkembangan tasawuf dalam Islam di abad
1-7 Hijriah?
C.
Tujuan Makalah
- Memberikan penjelasan bagaimana kemunculan tasawuf dalam Islam.
- Merinci
perkembangan tasawuf di abad 1-7 hijriah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kemunculan Tasawuf
Tombulnya tasawuf dalam Islam
bersamaan dengan munculnya agama Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi
Muhammad SAW diutus menjadi rosul bagi segenap umat manusia dan seluruh alam
semesta. Fakta sejarah juga menunjukan bahwa pribadi Muhammad sbelum diangkat
sebagai Rosul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat
di goa Hiro, umtuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekah yang sibuk
dengan hawa nafsu keduniaan.
Kehidupan Nabi yang seperti itu
dikenal sebagai hidup kerohanian yang bertujuan untuk medekatkan diri kepada
Allah yang dikukan oleh orang sufi saat ini. Corak kehidupan kerohanian Nabi
itulah yang dijadikan sebagai pedoman dalam hidup kerohanian sesudahnya sebagai
materi dalam tasawuf. Tasawuf itu merupakan ajaran yang diikuti oleh orang
sufi, di mana sufi itu dianggap penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia
dengan akhirat.
Sufi itu memiliki konotasi religious
yang khas, yang dipakai dalam wacana yang terbatas untuk menyebutkan mistik
yang dianut oleh para pemeluk agama Islam. Sekitar tahun 800 M, dikaitkan
dengan bahasa Yunani, istilah sufi itu mengandung makna yang lebih luhur dan
memancarkan kesahajaan. Namun, hingga sekarang masih sering terjadi perbedaan
pendapat tentang asal-usul kata sufi itu. Meskipun demikian, sebagian sufi
berpendapat bahwa kata sufi berasal dari bahasa Arab yang artinya kemurnian,
sehingga seorang sufi itu diartikan sebagai orang yang murni hatinya atau insan
yang terpilih. Namun, menurut Noldeke dalam salah satu artikelnya mengatakan
bahwa sufi itu berasal dari kata suf (bahasa Arab) yang artinya bulu
domba. Istilah itulah yang pertama kali diperkenalkan kepada orang Islam yang
hidup seperti bertapa (asketis).
Tasawuf kurang tepat disebut sebagai
ilmu empiris, logis, rasional, dan sistematis, karena mereka tidak bisa
mentransformasikan ilmunya kepada orang lain. Lebih tepatnya tasawuf merupakan
kumpulan pengalaman yang mengadakan komunikasi dengan Nur Ilahi yang
penuh dengan rasa dan terwujud dalam berbagai bentuk kehidupan yang menjauhi
kemewahan dan menghabiskan waktu beribadah pada Allah, rindu untuk bertemu
dengan Allah.[2]
B.
Perkembangan Tasawuf abad ke 1-7 Hijriah
Perkembangan
tasawuf pada abad kesatu dan kedua Hijriah dapat dibagi ke dalam empat aliran
- Aliran Madinah
Sejak masa
awal, di Madinah telah muncul para sufi. Mereka kuat perpegang teguh pada
Al-Quran dan assunah, dan menetapkan rosulullah SAW. Sebagai panutan
kezuhudannya. Para sahabat dalam kehidupannya selalu mencontoh kehidupan
Rosulullah SAW yang serba sederhana dan hidupnya hanya diabdikan kepada
Tuhannya. Para sahabat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Abu Bakar As-Siddiq (wafat
13 H)
Abu Bakar
adalah seorang saudagar Quraisy yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi
orang yang sangat sederhana dengan memberikan seluruh harta bendanya di jalan
Allah. Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu, Abu Bakar selalu
dalam keadaan kelaparan.
Diceritakan
pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata “Jika seorang
hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah SWT membencinya sampai
meninggalkan hiasan itu”. Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai
“pakaian”. Ia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan
dzikir.[3]
b.
Umar bin Khathab (wafat
23 H)
Umar bin Khatab
adalah aahabat Nabi SAW terdekat dan khalifah kedua Al-Khulafa’ A-rasyidun. Ia
termasuk orang yang tinggi kasing sayangnya terhadap sesama manusia. Ketika
menjadi khalifah, ia selalu mengadakan pengamatan langsung terhadap keadaan
rakyatnya. Diceritakan bahwa setiap malam ia berkeliling mengamati keadaan
rakyatnya, ia takut bila ada yang mengalami kesulitan, seperti sakit atau
kelaparan.
Suatu hari
ketika Umar mendapati seorang ibu yang berpura-pura memasak untuk meredakan
tangis anak-anaknya yang sangat lapar. Ketika Umar menyeledikinya, ia melihat
bahwa yang dimasak itu adalah batu. Umar bertanya kepada wanita itu, : mengapa
anda tidak memasak roti, tetapi hanya memasak batu?” wanita itu menjawab, “saya
tidakmempunyai gandum” mendengar jawaban wanita miskin itu, Umar langsung pergi
ke Baitul Mal mengambil gandum dengan memanggulnya sendiri kemudian menyerahka
kepada wanita miskin tadi.
Umar juga
sangat takut mengambil harta kaum muslimin tanpa alas an yang kuat. Ia
berpakaian sangat sederhana, bahkan tak pantas untuk dipakai seorang pembesar
seperti dia. Umar meneladani sikap Rosulullah SAW dalam seluruh kehidupannya.
Prinsip hidup sederhana ini juga diterapkan Umar dilingkungan keluarganya.
Istri dan anak-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari
pembesar atau rakyatnya.
c.
Utsman bin Affan (wafat
35 H)
Utsman
merupakan khalifak ketiga dan sahabat yang sangat berjasa pada periode awal
perkembangan Islam, baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunti
maupun secara terbuka. Ia dijuluki Dza An-Nurain (memiliki dua cahaya)
karena menikah dengan dua orang putri Nabi SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu
Kulum.
Sebelum masuk
Islam, Utsman bin Affan dikenal sebagai pedagang besar dan terpandang.
Kekayaannya melimpah ruah. Setelah masuk Islam, dengan penuh kerelaan ia
menyerahkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan Islam dan membela
orang-orang miskin yang teraniaya. Adapun dalam kehidupan kesehariannya, ia
selalu hidup sederhana. Dengan hal ini, jelaslah bahwa pada diri Utsman
terdapat jiwa-jiwa sufi yang tidak tertarik pada kegemerlapan kekayaan dan
kesenangan duniawi.
d.
Ali bin Abi Thalib (wafat
40 H)
Ali merupakan
khalifah keempat dan orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak,
sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul
Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf adalah kakak kandung ayah Nabi SAW, Abdulah
bin Muthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd Manaf.
Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya, kemudian diganti ayahnya
dengan Ali.
Ali dikenal
sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari.tidak tampak perbedaan
dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai
khalifah, sehingga diriwayatkan bahwa ketika sahabat lain berkata kepadanya “
mengapa khalifah senang memakai baju itu, padahal sudah robek-robek?” Ali
menjawab “aku senang memakainya agar menjadi teladan bagi orang banyak sehingga
mereka mengerti bahwa hidup sederhana merupakan sikap yang mulia”. Sikap dan
pertanyaan inilah yang menandakan dirinya seorang sufi.
e.
Abu Dzar Al-Ghifary (wafat
22 H)
Ia adalah
seorang sufi yang selalu mngamalkan ajaran zuhud yang telah dirintis oleh Abu
BAkar dan Umar. Ia lebih senang memilih cara hidup miskin dan tidak pernah
merasa menderita apabila ditimpa cobaan. Bahkan, ia sangat senang menerima
berbagai cobaan dari Allah SWT karena menganggap bahwa cobaan itu merupakan perhatian
Tuhan terhadapnya. Oleh karena itu, setiap kali merasa dicoba oleh Allah, ia
mengucapkan kalimat syukur dan tahmid.
f.
Ammar bin Yasir (wafat
37 H)
Ia seorang sufi yang sangat setia
kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga terlihat ajaran tasawufnya sama
dengan ajaran tasawuf yang telah diamalkan oleh Ali sebelumnya. Ia pun termasuk
salah seorang dari ahlus suffah yang pernah menyatakan bahwa apabila amalan
zuhud merupakan perhiasan dalam segala kebaikan, harta benda itu merupakan
kebanggan bagi pemuka-pemuka masyarakat Mekah yang telah diberantas oleh agama
Islam. Menurutnya, seorang hamba yang menginginkan kemuliaan dari Allah SWT
harus menghiasi dirinya dengan amalan zuhud, dan menjauhkan dirinya dari
kemewahan harta benda. Ini berarti tidak mengulangi sikap dan perilaku
orang-orang Mekah yang telah diberantas oleh ajaran Islam.
Uraian ini
menjelaskan bahwa aliran Madinah berpegang teguh pada asketisme dan
kerendahhatian Nabi Muhammad SAW. Selain itu, aliran ini tidak begitu
teprengaruh oleh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti
Amawiyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah sekalipun mendapat tekanan dari
penguasa.
- Aliran Basrah
Lous Massignon mengemukakan bahwa
pada abad kesatu dan kedua Hijriah terdapat dua aliran asketisme Islam yang
menonjol, yaitu Basrah dan Kuffah. Di antara tokoh sufi yang menonjol dari
aliran Basrah ialah, Al-Hasan Al-Bashry, Rabi’ah Adawiyah, dan Malik bin Dinar.
Corak tasawuf yang menonjol pada aliran
Basrah adalah rasa takut yang berlebihan. Hal itu, menurut Ibnu Taimiyah karena
adanya kompetisi antara mereka dan para sufi Kufah.
a.
Al-Hasan Al-Bashry (22
H-110 H)
Nama lengkapnya
adalah Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Abu Sa’id. Dia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21H/624 M dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra
Zaid bin Sabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, kemudian menjdai
sekretaris Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basarah, dan ia
sempat bertemu dengan sahabt-sahabat Rosul termasuk tujuh puluh di antara
mereka adalah yang turut serta dalam perang Badar.[4]
Ia mendapat
ajaran tasawuf dari Huzaifah bin Al-Yaman, sehingga ajaran itu memengaruhi
sikap dan perilaku dalamkehidupan sehari-harinya, sehingga ia dikenal sebagai
ulama sufi yang sangat dalam ilmunya tentang rahasia-rahasia yangter kandung
dalam ajaran Islam dan sangat menguasai ilmu batin.
Memang banyak
pengakuan yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Hasan Al-Basri dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama, seperti yang dikatakan oleh Abu Qatadah
“bergurulah kepada syeikh ini! Saya sudah menyaksikannya sendiri, tidaklah ada
orang tabiin yang menyerupai sahabat Nabi Muhammad SAW, kecuali beliau”.
Dasar pendirian
Hasan Al-Basri adalah zuhd terhadap dunia, menolak segala kemegahan,
hanya menuju kepada Allah SWT, tawakal, khauf, dan raja’. Janganlah semata-mata
takut kepada Allah , tetapi ikutilah ketakutan dengan harapan. Takut akan
murka-Nya, tetapi mengharap rahmat-Nya.[5]
Kemudian, kita harus meninggalkan kenikmatan dunia karena hal itu merupakan
Hijab (penghalang) dari keridhaan Allah SWT.
- Aliran Kuffah
Alian Kuffah bercorak idealistis,
menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam
hadis. Mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Murji’ah. Itu terjadi karena
Syi’ah adalah aliran kalam yang pertama kali muncul di Kuffah. Di antara
tokoh-tokohnya adalah Sufyan ats-Tsaury, Ar-Rabi’ bin Khatsim, Sa’id bin
Jubair, Thawus bin Kisan.
- Aliran Mesir
Di antara
tokoh-tokoh sufi aliran Mesir abad pertama hijiriah adalah Salim bin ‘Atar
At-Tajibi (wafat 75 H), Abdurrahman bin Hujairah (wafat 69 H), Nafi’ (wafat 117
H), Al-Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), Hayah bin Syuraih (wafat 158 H), dan
Abdullah bin Wahab (wafat 197 H).
Pada abad
pertama hijiriah, ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak
jauh dari kota Madinah. Akan tetapi, pada abad kedua hijriah, ulama-ulama
tersebut sudah menyebar ke berbagai negeri di wilayah kekuasaan Islam. Kalau
pada abad pertama istilah sfui masih kurang dikenal oleh masyarakat Islam,
kecuali yang dikenalnya dengan memberikan nama kepada ahli zuhud.
Cirri lain pada
perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriah adalah kemurniahnya
yang dibandingkan dengan tasawuf pada abad sesudahnyayang sudah tercampur
ajaran filsafat serta tradisi agama dan kepercayaan yang dianut oleh manusia
sebelum Islam. Pada abad sesudahnya, terlihat adanya perbedaan ajaran tasawuf
dengan corak teologi dan falsafi. Semakin lama, perbedaan ajarannya semakin
jauh sehingga kecurigaan antara sutaupenganut tasawuf dengan lainnya semakin
menonjol sehingga permusuhan antara mereka tidak dapat dielakkan. Ditambah lagi
dengan kecurigaan ahli fiqh terhadap tasawuf, baik yang penganut corak
tasawufteoligi, lebih-lebih terhadap penganut tasawuf falsafi.
Secara umum,
tasawuf pada abad pertama dan kedua hjriah memiliki karakteristik berikut.
1)
Berdasarkan
ide menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan memelihara diri dari azab
neraka. Ide ini berakar dari ajaran Al-Quran dan A-Sunnah dan sebagai dampak
berbagai kondisi sosiopolitik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika
itu.
2)
Bercorak
praktis. Para tokohnya tidak menarh perhatian untuk menyusun teoritis atas
tasawuf. Sementara sarana-sarana praktisnya dlaam hidup dalam ketenangan dan
kesederhanaan secarapenuh, sedikit makan ataupun minum, banyak beribadah dan
mengingat Allah SWT, berlebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada
kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian, tasawufpadasaat
itu mengarah pada tujuan moral.
3)
Motivasi
tasawufnya adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan
kegamaan secara eungguh-eungguh. Eementara pada akhir abad kedua hijriah di
tangan Rabi’ah Al-Adawiyah muncul motivasi cinta kepada Allah.
4)
Ditandai
dengan kedalaman membuat analieie khueuenya di Khuraean yang dipandang eebagai
pendahuluan taeawuf eecara teoritis.
Perkembangan tasawuf pada abad ketiga Hijriah
Pada abad ketiga terlihat adanya
peralihan konkret pada asketisme Islam. Para asketis pada masa itu tidak lagi
dikenal dengan gelaran tersebut, lebih dikenal dengan sebutan sufi. Mereka pun
cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal,
misalnya tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh
seseorang menuju Allah yang dikenal dengan istilah tingkatan (Maqam) dan
keadaan (hal), makrifat dan metode-metodenya, tauhid, fana, penyatuan atau
hulul.
Selain itu mereka pun menyusun
prinsip-prinsip teoretis dari semua konsep di atas. Bahkan, mereka menyusun
aturan-aturan praktis bagi tarekat mereka. Mereka pun memiliki bahasa simbolis
khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka. Sejak saat itulah, muncul
karya-karya tentang tasawuf, para penulis pertama dalam karangan ini adalah
Al-Muhasibi (wafat 243 H), Al-Kharraz (wafat 277 H), Al-Hakim Ay-Tirmidzi
(wafat 285 H), danAl-Junaid (wafat 297 H). Mereka adalah para sufi abad ketiga hijirah.
Dapat dikatakan pada abad ketiga
adalah abad awal mula tersusunya ilmu tasawuf dalam arti yang luas. Selain itu,
karakteristik tasawuf sebagaimana telah dikemukakan mulai tampak jelas. Kondisi
ini masih tetap berlangsung hingga abad keempat, dapat dipandang sebagai tasawuf yang oerkembangannya
telah mencapai kesempurnaan.
Menurut AT-Taftazani, terdapat dua
aliran tasawuf pada abad jetiga dan keempat. Pertama, aliran para sufi
yang pendapat-pendapatnya moderat (tasawuf suni), tasawufnya slalu merujuk pada
AL-Quran danAs-Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf ini selalu bertandakan
timbangan syariah. Sebaian sfinya adalah para ulama terkenal dan tasawufnya
didominasi cirri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona
olehkeadaan-keadaan fana (tasawuf semifilosofis), mereka sering mengucapkan
kata-kata ganjil yang terkenal dengan sebutan syathahat. Mereka
menumbuhkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah SWT, seperti penyatuan
ataupun hulul. Sedikitnya tasawuf mereka bertandakan beberapa kecenderungan
metafisis.
Tokoh-tokoh sufi yang terkenal pada
masa ini ialah, Abu Sulaiman Ad-Darani, Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy, Dzu
An-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustami, Junaid Al-Baghdadi, Al-Hallaj.[6]
Perkembangan tasawuf pada abad keempat Hijriah
Pada abad ini ditandai dengan
kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat, karena usaha maksimal para ulama
tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Kota Baghdad
sebagai satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf paling
besar sebelum masa itu, mulai tersaingi oleh kota-kota lainnya.
Upaya untuk mengembangkan tasawuf di
luar kota Baghdad dipelopori oleh bebrapa ulama, yaitu:
- Musa Al-Anshary, megajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia atau Iran) dan wafat di sana tahun 320 H.
- Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan di salah satu kota Mesir dan wafat tahun 322 H.
- Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkan di Semenanjung Arabia dan wafat tahun 314 H.
- Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy, mengajarkan di Naisabur hingga ia wafat tahun 328 H.
Sekalipun demikian, perkembangan
tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di
kota Baghdad. Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di sana sudahmulai
bermunculan. Dalam pengajaran ilmu tasawuf, para ulama menggunakan sistem
tarekat. Berupa ajaran dari seorang guru kepada muridnya yang bersifat
teoritisserta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut
suluk dalam ajaran tasawuf.
Ciri-ciri lain yang terdapat pada
abad ini ialah semakin kuatnya unsure filsafat yang memengaruhi corak tasawuf karena
banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalangan umat Islamdari hasil
terjemahan orang-orang muslim sejak permulaan daulah Abasiyah. Pada abad ini
pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi
menjadi empat macam oleh ahli tasawuf, yaitu ilmu syariah, ilmu tariqah, ilmu
haqiqah, dan ilmu ma’rifah.
Kumpulan pengetahuan tentang syariah
smelalui tariqah untuk mencapai haqiqah, dinamakan ma’rifah. Pabila sesorang
telah menjalani tariqah, yang seimbang dengan syaiah lahir dan batin untuk
menuju tujuan tertentu dalam tasawuf, insyaAllah tercapailah kondisi mental
yang menciptakan instilah insane kamil (manusia sempurna) yang selalu
dekat degan Tuhannya yang di sebut waliyulah, yaitu orang yang selalu
mendapat limpahan karunia Ilahi sehingga sanggup melakukan perbuatan yang luar
biasa yang dinamakan keramat (al karamah).[7]
Perkembangan tasawuf pada abad kelima Hijriah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
pada abad ketiga dan keempat muncul dua lairan, yaitu aliran Sunni dan aliran
Semifilosofis. Pada abad kelima, aliran yang pertama terus tumbuh dan
berkembang dan aliran kedua mulai tenggelam dan baru muncul kembali dalam
bentuk lain, yaitu pada pribadi-pribadi para sufi dan juga filsuf abad keenam
dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua pada abad
kelima disebabkan berjayanya aliran teologis ahlus sunnah wal jama’ah
karena keunggulan Abu A-Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) atas aliran-aliran
lainnya. Dengan kritikannnya yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid
Al-Bustami dan Al-Hallaj ataupun para sufi lain yang ungkapannya ganjil,
termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainna. Leh
karena itu tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yaitu
dengan mengembalikan pada landasan Al-Quran dan As-Sunnah. Tokoh-tokoh tasawuf
pada abad ini ialah, Al-Qusyairi, Al-Harawi, Al-Gazali.
Pada abad inilah terlihat
tanda-tanda semakin dekatnya corak tasawuf dengan ajaran tasawuf yang diajarkan
pada abad pertama Hijriah. Akan tetapi, pada abad sesudahnya, kembali terlihat
ada tanda yang menjurus pada perbedaan pendapat ahli tasawuf dengan fuqoha
beserta mutakallimin serta corak tasawuf falsafi yang telah diamalkan pada abad
ketiga dan keempat hijriah kembali muncul di kalangan umat Islam.
Perkembangan tasawuf pada abad keenam Hijriah
Beberapa ulama
tasawuf yang sangat berpengaruh alam perkembangan tasawuf abad ini ialah,
As-Suhrawardi Al-Maqtul, dan Al-Ghazwany. Pada abad kelima hijriah, imam Al
Gazali telah mengembalikan citra ahli tasawuf di kalangan umat Islam, dengan
mempertemukan ilmu zahir (ilmu syariat) dengan ilmu batin (ilmu tasawuf). Al
Gazali berusaha memurnikannya dari unsure-unsur filsafat yang dinilainya
membingungkan orang-orang Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hanya ahli
filsafat yang menjadi lawan polemic ulama syariat dan ulama tasawuf. Akan
tetapi, pada abad keenam hijriah suasana kemelut antara ulama syariat dengan
ulama tasawuf kembali memburuk karena dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran al-hulul,
wihdatul wujud, dan wihdatul adyan oleh kebanyakan ulama tasawuf,
antara lain Syihabuddin Abul Futuh As-Suhrawardy, dan Al-Ghaznawi sehingga
timbul berbagai protes dari ulama syariat dan mengajukan keberatan kepada
penguasaketika itu.
Perkembangan tasawuf pada abad ketujuh Hijriah
Ada beberapa ulama tasawuf yang berpengaruh
pada abad ini, ialah Ibnul Faridh, Ubnu Sabi’in, Jalaludin Ar-Rumy. Perlu
diketahui bahwa ahli tasawuf bergerak dalam kegiatan yang dirahasiakan, hal itu
sangat dikhawatirkan oleh pemerintah. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban
masyarakat, pemerintah harus menerima unsure-unsur yang diajukan oleh Qadi yang
membantu pemerintah menjalankan kewenangannya. Akibatnya, banyak ahli tasawuf
yang lari meninggalkan negerinya beserta murid-muridnya, untuk mencari tempat
perlindungan di negeri lain. Akan tetapi, banyak juga yang sempat tertangkap,
alu menjalani hukuman sehingga boleh dikatan bahwa negeri Arab dan Persia
ketika itu sunyi dari kegiatan ahli tasawuf.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian singkat ini dapat
disimpulkan bahwa kata tasawuf atau sufi belum dikenal di zaman rosul dan
sahabat. Istilah tersebut baru muncul pada akhir abad kedua hijriah karena
sikap dan perilaku orang-orang zuhud yang bertentangan dengan sikap dan
perilaku orang-orang yang hidup mewah. Karena istilah tersebut baru muncul pada
akhir abad kedua hijriah, dan istilah ini tidak terdapat dalam Al-Quran dan
Hadits, maka bermacam teoripun muncul mengenai asal kata dari istilah tasawuf
atau sufi, namun teori yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa tasawuf
atau sufi berasal dari akat suf . di samping secara filologis kata suf
sejalan dengan kata tasawuf atau sufi, juga para sufi ketika itu
rata-rata memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba (suf) sebagai symbol
dari kesederhanaan mereka.
Ajaran tasawuf yang bertujuan untuk
mendekatkan manusia sedekat mungkin kepada Tuhan dengan membersihkan jiwa
sebersih mungkin, dan menghiasi manusia dengan akhlak yang terpuji bukanlah
timbul karena pengaruh agama lain, atau karena pengaruh filsafat dan mistik
dari luar tetapi muncul, tumbuh dan berkembang dari dlaam Islam sendiri yang
digali dari ajaran Al-Quran, Hadits, dan oraktek para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran A.S. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996.
Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta:
Pustaka Panjimas. 1984.
Nasution, Harun. Ensiklopedia
Islam. Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2001.
Rosihon, Anwar. Akhlak Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia. 2010.
[1]
Prof. Dr. H. Ris’an Rusli, M.A., Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2013), cet. Ke-1, hlm. 1-4.
[2]
Prof. Dr. H. Ris’an Rusli, Ibid, hlm. 9-11
[3]
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2001), jlid 5, hlm. 79
[4]
Asmaran A.S., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996, hlm. 258-259.
[5]
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1984), hlm. 76.
[6]
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Stia,
2010), hlm. 178-181.
[7]
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Ibid, hlm.181-183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar